MORALITAS KORUPTOR
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.
MORALITAS OBYEKTIF
Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
MORALITAS SUBYEKTIF
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati.
Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia!
KORUPSI?
Korupsi adalah penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral! Moral yang mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif. Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut. Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
Di satu sisi, penegakan moralitas obyektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain, penegakkan moralitas subyektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai mahkluk yang berakal budi, dan penajaman hati nurani.
Penekanan kepaada salah satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Pemberlakuan hukum yang berat terhadap para koruptor itu baik, tetapi belum cukup. Mengapa? Karena dengan demikian orang hanya dididik untuk takut menjadi koruptor. Ia takut melakukan korupsi hanya karena takut akan hukuman mati, padahal yang seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya karena korupsi itu tindakan yang buruk (bukan hanya soal takut)! Pendidikan hati nurani (misalnya dilakukan dengan: mengikuti anjuran agama dan berlaku saleh) itu juga baik, tetapi juga belum cukup! Mengapa? Karena dalam hidup bersama tetap diperlukan hukum yang tegas bagi tercapainya kebaikan bersama.
Sebagai warga bangsa, manusia Indonesia seharusnya sadar bahwa korupsi adalah masalah bersama yang membawa negara ini kepada keburukan dan keterpurukan. Sudah saatnya dibuat hukum yang tegas untuk mengembalikan bangsa ini kepada jalurnya yang benar, dan tak ketinggalan pula: pendidikan hati nurani demi tajamnya mentalitas bernegara. Pendidikan hati nurani dalam hal ini tidak bisa disempitkan melulu kepada beribadah dan kembali kepada agama saja (karena semua orang Indonesia ternyata beragama, dan pada saat itu juga menjadi negara terkorup pula!). Pendidikan hati nurani sebenarnya adalah persoalan pengembalian manusia kepada kodratnya yang mengedepankan peran akal budi. Akal budi inilah yang memampukan setiap manusia untuk mengarahkan diri kepada pencapaian kebaikan. Korupsi adalah pembalikan dari kebaikan, maka dengan tegas harus ditolak! Korupsi juga adalah pengingkaran kodrat manusia yang bermartabat, maka dengan tegas pula harus diberantas!
http://agustinuswisnudewantara.wordpress.com/moral-dan-korupsi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar